Oleh: Andy F. Noya
Jakarta - Saya masih ingat,
kejadiannya sekitar tahun 2001. Waktu itu Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium
Dewan Papua, datang ke kantor Metro TV. Theys ditemani sejumlah anggota PDP
termasuk Sekjen PDP Taha Alhamid.
Theys dan kawan-kawan mengajak Metro TV membuka stasiun di Papua. “Selama ini
kami menilai Metro TV obyektif dalam memberitakan apa yang terjadi di Papua,”
ujarnya. PDP sudah menyediakan dana Rp 5 miliar dan tanah di daerah Sentani.
“Melalui Metro TV, kami juga ingin meluruskan sejarah,” ujar Taha Alhamid. “Apa
benar dalam Penentuan Pendapat Rakyat 1969 seluruh rakyat Papua ingin masuk
NKRI atau hasil Pepera waktu itu merupakan rekayasa.”
Saya mempertegas hasil yang ingin mereka capai dalam upaya “pelurusan sejarah”
itu, “Jika dalam upaya meluruskan sejarah itu kemudian terbukti rakyat Papua
dicurangi, apa yang akan terjadi?” “Nanti akan kami tentukan. Apakah kami akan
tetap menjadi bagian NKRI atau kami berpisah,” Theys menegaskan.
Ketika hasil pertemuan saya sampaikan pada Surya Paloh sebagai pimpinan
tertinggi di Me-tro TV, jawab-annya tegas: “Tak ada ruang untuk mendiskusikan
keabsahan Papua sebagai bagian dari NKRI. Itu sudah final dan tak boleh
diganggu gugat.”
Tapi kami sepakat bahwa Metro TV berkomitmen untuk terus menyuarakan
ketidakadilan yang mendera rakyat Papua.
Kerusuhan dan memanasnya suhu politik di Papua akhir-akhir ini, bermuara pada
keinginan merdeka, membuat saya teringat pada perjuangan Theys dan kawan-kawan.
Sejak Theys ditemukan tewas dengan leher terjerat di dalam mobilnya, suhu
politik dan perjuangan ke arah kemerdekaan Papua menyusut. Lalu mengapa
suara-suara yang menginginkan Papua merdeka kembali menggema setelah sekian
tahun?
Hal yang paling mendasar adalah faktor kesejahteraan dan rasa aman. Setelah
menjadi bagian NKRI, rakyat belum merasakan perubahan mendasar dalam kedua hal
itu.
Mengapa otonomi khusus yang diberikan kepada Papua tidak juga mampu meredam
gejolak di sana? Saya melihat perilaku para pemimpin merupakan sumber persoalan,
baik pemimpin di pusat maupun daerah itu sendiri.
Pada saat Barnabas Suebu terpilih kedua kalinya sebagai gubernur, saya diminta
ke Jayapura untuk merintis pendirian Metro TV di sana. Saya pergi sekitar tahun
2006. Setelah meninggalkan Jayapura pada 1978, saya terpana dan sedih ketika
melihat Taman Imbi sebagai “alun-alun” kota semakin kumuh dan pembangunan kota
yang semrawut.
Pada kesempatan “berpidato” di depan gubernur dan sejumlah pejabat tinggi Pemda
Papua, saya menegaskan inilah saatnya kita semua berkomitmen membangun Papua.
Bahkan kepada Barnabas, saya tekankan pada periode pertama sebagai gubernur,
cukup sudah dia mendapat manfaat materi dari jabatannya.
Kini saatnya dia betul-betul mencurahkan waktu dan pikirannya untuk kemajuan
Papua dan kesejahteraan rakyat. Jangan lagi mencari kekayaan untuk pribadi
maupun keluarga. Hal itu juga berlaku untuk seluruh pejabat Pemda. Sebab
sebentar lagi kucuran dana Otsus yang luar biasa besar akan menguji komitmen
mereka semua. Jika mereka tidak mampu mengendalikan godaan, korupsi akan
merajalela.
Kepada Barnabas dan jajarannya, saya katakan ini saatnya untuk membangun Papua.
“To be or not to be. Kalau kali ini
gagal, maka sampai kapan pun Papua tidak akan pernah mampu bangkit.” Apa mau
dikata. Selang beberapa bulan, saya mendapat laporan peralatan yang kami beli
untuk membangun stasiun Metro TV di sana di-mark up
oleh pejabat-pejabat Pemda yang ditunjuk.
Saat bertemu Gubernur Bar-nabas Suebu, saya sampaikan kemarahan saya soal itu.
Dia berjanji akan memecat anak buahnya. Tapi kondisi semakin parah. Barnabas
lebih sibuk berada di Jakarta. Alasannya sedang mencari dana investasi dari
pusat dan pemerintah Cina untuk pembangunan Papua.
Keadaan semakin menyedihkan saat sejumlah kepala daerah di Papua diperiksa
dalam kasus korupsi. Tampaknya dana Otsus yang triliunan membuat banyak orang
“mabuk”. Para bupati berubah jadi raja-raja kecil. Mereka juga lebih sering
terlihat di Jakarta ketimbang bersama rakyat memajukan daerahnya. Alasannya
klise: mencari peluang investasi. Tapi dalam beberapa kesempatan saya melihat
“raja-raja kecil” itu hidup berfoya-foya dengan fasilitas mewah di Jakarta.
Sementara rakyatnya tetap hidup dalam kekurangan. Sungguh ironis.
Apa yang kita bisa harapkan dari situasi seperti ini? Belum lagi “semut-semut”
dari luar Papua yang mencoba ikut menikmati manisnya gula yang meluber di sana
semakin memperparah keadaan. Bukan rahasia lagi, para pejabat dari luar Papua
yang ditugaskan di Bumi Cenderawasih berusaha secepat-cepatnya mengeruk
kekayaan untuk modal ketika pulang ke daerah masing-masing. Papua hanya menjadi
obyek untuk mengeruk kekayaan. Tak ada niat tulus untuk membangun dan
menyejahterakan rakyat Papua yang merupakan bagian dari NKRI.
Maka, jangan heran apalagi kaget jika belakangan ini muncul kembali keinginan
rakyat Papua untuk merdeka. Mereka tidak melihat jalan keluar lain untuk bisa
menikmati hidup layak secara ekonomi dan bebas dari ancaman kekerasan yang
terus mendera mereka. Rakyat Papua selama ini harus menanggung akibat dari
kelakuan para pemimpin yang sibuk memikirkan kepentingan mereka sendiri.